Pilih Laman

Sejarah

Sejarah Desa Darmakradenan

Pada saat Perang Diponegoro berakhir tahun 1830 tersebutlah seorang bangsawan bernama Raden Sudarmo, Raden Sudarmo bersama seorang cantrik yang tidak diketahui namanya melakukan perjalanan tanpa tujuan untuk melarikan diri dari penjajah. Kedua orang yang merasa kelelahan akhirnya sampai di suatu tempat yang sampai sekarang disebut Nyai Lumpang.

Di tempat tersebut Raden Sudarmo dan cantriknya melepas penat hingga tertidur. Tiba-tiba Sang Raden terbangun karena beliau bermimpi melihat sebuah nyala api yang berkobar-kobar di suatu tempat, namun beliau tidak tahu di mana letak tempat tersebut. Kemudian beliau bercerita kepada cantrik tentang mimpinya tersebut. Setelah itu mereka sepakat untuk mencari di mana letak tempat yang terdapat nyala api yang berkobar itu.

Perjalanan dimulai dari tempat di mana Sang Raden bermimpi, yaitu Nyai Lumpang. Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, Raden Sudarmo dan cantriknya sampai di sebuah kedung atau telaga yang hawa di sekitarnya begitu sejuk dan menyegarkan. Sampai sekarang kedung atau telaga tersebut dinamakan Kedung Iyom (dalam Bahasa Jawa kedung=telaga dan iyom=rindang, sejuk).

Kemudian perjalanan dilanjutkan kembali. Sampai di suatu tempat Sang Raden merasa kelelahan yang tiada terkira, mereka beristirahat dan bermalam di tempat tersebut. Tempat tersebut sampai sekarang disebut Kesal (dalam Bahasa Jawa kesal berasal dari kata kesel yang berarti capek, lelah). Malam berganti pagi, perjalanan Raden Sudarmo dan cantriknya dilanjutkan. Sampai di suatu hamparan sawah yang sangat luas, Sang Raden melihat seorang petani yang sedang menjajarkan tanaman padi. Kemudian beliau bertanya kepada cantriknya apa yang sedang dilakukan petani tersebut. Sang Cantrik menjelaskan bahwa petani tesebut sedang menanam tanaman padi dengan cara menjajarkan atau menatanya berbanjar dan sejajar satu sama lain. Hamparan sawah yang sangat luas tersebut kemudian diberi nama Dukuh Banjar.

Perjalanan dilanjutkan kembali, sampai di tepi sungai beliau melihat orang-orang yang sedang membuat gawul yaitu perangkap ikan yang terbuat dari anyaman batang pohon jambe/pinang dan bambu. Sehingga tempat tersebut dinamakan Pegawulan yang berarti tempat pembuatan gawul. Perjalanan dilanjutkan sampai di sebuah gua yang di dalamnya terdapat sebuah sumur yang banyak airnya, sehingga gua tersebut diberi nama Gua Sumur. Bahkan hingga saat ini sebagian besar kebutuhan air bersih di Desa Darmakradenan berasal dari air dalam Gua Sumur.

Tak jauh dari Gua Sumur terdapat sebuah gua yang di dalamnya banyak terdapat burung liar yang akhirnya diketahui oleh Raden Sudarmo bahwa burung tersebut adalah Burung Serwiti atau Burung Walet berdasarkan penjelasan dari cantriknya. Oleh karena itu, gua tersebut dinamakan Gua Serwiti. Sebuah gua ditemukan lagi, kali ini di sekitar gua terdapat begitu banyak ular dengan berbagai bentuk dan ukuran. Sehingga gua ini dinamakan Gua Ular.

Perjalanan dilanjutkan melalui sebuah sungai yang di sepanjang kanan dan kirinya terdapat pohon jambe/pinang/pucang. Sehingga daerah di sekitar tempat tersebut dinamakan Cipecang. Sampai di sebuah pohon Wungu, Sang Raden merasa begitu lelah sehingga memutuskan untuk istirahat dan bermalam atau mondok. Sehingga tempat istirahat tersebut sampai sekarang dinamakan Pondok Wungu (pondok merupakan tempat untuk mondok atau istirahat, wungu berasal dari pohon Wungu).

Sang Raden berbincang dengan cantriknya dan mengatakan bahwa suatu saat nanti di tempat istirahat ini akan menjadi pasar kopi. Terbukti bahwa di sekitar tempat tersebut terdapat perkebunan coklat milik negara yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai di sebuah tempat yang membuat Sang Raden ketliweng atau tidak dapat membedakan arah seperti orang bingung. Sehingga Sang Raden memutuskan untuk bermalam di tempat itu. Tempat tersebut kemudian dinamakan Cileweng.

Dari tempat ini beliau dapat melihat nyala api berkobar seperti yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Sehungga beliau memprediksikan bahwa tempat yang akan beliau tuju sudah dekat. Setelah hari sudah terang, beliau dan cantriknya melanjutkan perjalanan. Namun di suatu tempat yang terdapat sebuah pohon jambe/pinang hutan yang sangat besar, beliau merasa tersesat karena jalannya buntu dan beliau tidak tahu akan melanjutkan perjalanan ke arah mana. Akhirnya beliau memutuskan untuk putar balik dan melanjutkan perjalanan menuju hulu sebuah sungai. Tempat yang membuat Sang Raden tersesat dinamakan Jamberende.

Sang Raden merasa perlu membersihkan diri di sungai yang dilewati, sehingga beliau dan cantriknya mandi di sungai tersebut. Setelah selesai, Sang Raden merasa sepeerti habis disepuh. Segala kelelahan, kepenatan dan kekakuan yang selama perjalanan begitu dekat dengan badannya seketika itu juga hilang setelah dibersihkan dengan air sungai tersebut. Oleh karena itu, beliau menamakan sungai itu sebagai Sungai Penepuan (penyepuhan).

Ternyata tak jauh dari sungai tersebut, sampailah beliau dan cantriknya di tempat yang mereka tuju. Sebuah gua yang mulutnya berbentuk seperti dandang yaitu sebuah alat untuk memasak nasi. Di tempat tersebut Sang Raden bertapa selama 40 hari 40 malam dengan Sang Cantrik sebagai penjaganya. Pada hari terakhir, beliau mendapatkan wangsit yaitu sebuah bisikan yang mengatakan bahwa beliau dan cantriknya agar segera pergi dari tempat itu dan kembali ke tempat awal perjalanan yaitu Nyai Lumpang.

Segera setelah bangun dari tapanya, Sang Raden dan cantriknya meninggalkan tempat tersebut yang sampai sekarang dinamakan Gua Damar. Perjalanan kembali dimulai. Ketika istirahat sudah terasa diperlukan, Sang Raden dan cantriknya beristirahat di sebuah gardu atau pos kamling dalam Bahasa Jawa disebut angkruk. Sehingga tempat istirahat tersebut dinamakan Angkruk. Namun pada perkembangannya, pada serangan DI/TII tahun 1961 ketika warga harus dievakuasi ke Karang Kemojing kemudian kembali ke tempat semula dan selamat, tempat tersebut oleh Bapak Kesruh dinamakan Sidoharjo (sido berarti sida atau jadi dan harjo berarti selamat).

Sejarah Pemerintahan Desa
Berdasarkan keterangan dari Bapak Soedarsono selaku salah satu sesepuh Desa Darmakradenan, hingga tahun 1927 pemerintahan Desa Darmakradenan tidak diketahui secara pasti. Berikut ini merupakan kepemimpinan pemerintahan Desa Darmakradenan mulai tahun 1928 :

  • Tahun 1928 – 1945 : Adma Mertodiweryo
  • Tahun 1946 – 1954 : H. Abu Umar
  • Tahun 1954 – 1987 : M. Rofi’i
  • Tahun 1987 – 1998 : H. Abdul Hadi
  • Tahun 1999 – 2006 : Tasiman
  • Tahun 2007 – 2019 : Harjono
  • Tahun 2019 – Sekarang : Imam WS

Sejarah Pembangunan Desa


Pada tahun 1987 sampai dengan 1998 Desa Darmakradenan dipimpin oleh seorang Kepala Desa bernama H. Abdul Hadi. Pada pemerintahannya ini menampakkan pembangunan dan prestasi desa yang jelas, antara lain :
1. Pengaspalan jalan RW 04
2. Pembangunan TK Pertiwi 1
3. Pembangunan Balai Desa
4. Pembangunan balai pertemuan/joglo
5. Pembangunan jembatan RW 04
6. Pembangunan jembatan RW 05
7. Pembangunan lapangan sepakbola di RW 08
8. Pengaspalan jalan RW 05
9. Pengaspalan jalan RW 06
10.Masuknya jaringan listrik RW 01, RW 02, RW 03, RW 08, RW 09

Pada tahun 1998 terjadi kekosongan pemerintahan sehingga Kepala Desa dijabat oleh Sekretaris Desa selaku Pejabat Sementara (Pjs). Kemudian pada tahun 1999 sampai dengan 2006 Desa Darmakradenan dipimpin oleh seorang Kepala Desa bernama Tasiman. Pada periode pemerintahan ini menampakkan pembangunan, antara lain :
masuknya jaringan listrik RW 04 dan RW 05
1. Pengaspalan jalan RW 07 sampai RW 10
2. Pembelian TKD (Tanah Kas Desa)
3. Pembangunan jalan tembus RW 10
3. Pembangunan jalan tembus RW 08
4. Pembangunan TK Pertiwi 2
5. Renovasi kantor desa
6. Pembangunan jembatan sungai tajum
7. Penghijauan

Pada bulan Januari sampai Juli 2007 Pemerintahan Desa dijabat Sekretaris Desa selaku Pejabat Sementara (Pjs) melakukan beberapa pembangunan, antara lain :
1. Pagar keliling balai desa
2. Pengaspalan jalan RW 04
3. Pengadaan TKD (Tanah Kas Desa) untuk makam RW 07
4. Pengaspalan jalan RW 05

Sumber Cerita  : Bp. Soedarsono

Penulis              : Lutfi Nur Hakiki

Editing               : Ahmad Miftah