AJIBARANG- Para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Stan Ampera) Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang, menuntut agar Hak Guna Usaha (HGU) dicabut. Tuntutan itu diungkapkan dalam peringatan Ulang Tahun Ke-16 Stan Ampera dan Hari Tani ke 55 di Lapangan Darmakradenan, Selasa (29/9). Kegiatan ini diikuti sekitar 100 petani.
Koordinator Setan Ampera Banyumas, H Katur Setiabudi dalam orasinya mendesak agar pencabutan HGU segera dilaksanakan meski masih ada perjanjian sampai beberapa tahun mendatang. Menurut Katur, lahan pertanian yang sekarang digarap oleh PT RSA sudah tidak bisa dimanfaatkan dengan baik dan itu menjadi pemicu utama petani menggarap lahan yang tersisa.
“Ketika HGU lepas dan didistribusikan kepada petani maka kami akan memanfaatkan sebaik-baiknya setiap jengkal tanah yang ada untuk kesejahteraan kami,”tandas Katur. Dia mengatakan, petani tidak akan pernah bosan untuk menuntut hak pengelolaan tanah karena selama ini petani benar-benar dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan terkait minimnya lahan mereka di Darmakradenan.
Menurut dia, saat ini dari 10 ribu penduduk di Darmakradenan hanya seluas 350 Hektar yang sah menjadi hak penduduk yang saat ini masih dikelola oleh PT RSA.
Katur menegaskan, dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pencabutan hak atas tanah, proses harus didukung dengan adanya rekomendasi dari pemerintah daerah yakni DPRD dan bupati. Menurutnya, konflik di Darmakradenan yang sudah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tidak ada niatan untuk secepatnya diselesaikan baik oleh bupati maupun dewan.
Ketua DPP Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jateng, Momo mengatakan, pemerintah harus lebih memperhatikan kaum tani di seluruh pelosok Nusantara. Sebab 60 persen rakyat Indonesia adalah petani dan 70 persen rakyat tinggal di pedesaan sudah seharusnya berpihak kepada para petani. Namun kini masih banyak petani yang hidup susah, karena keperpihakan kepada pemodal besar masih kental terkait kepemilikan lahan, seperti yang terjadi di Desa Darmakradenan ini.
“Maka perlu adanya reformasi agraria, bukan hanya ketahanan pangan tetapi kedaulatan pangan yang harus kita galakkan,”jelasnya. Menurut Momo, nilai tukar rupiah yang terus melemah, imbuhnya disebabkan salah satunya tidak menjalankan reforma agraria, tidak meningkatkan produksi dalam negeri namun justru terus berhutang ke luar negeri. Dan tuntutan lain bahwa seluruh kasus agraria di berbagai daerah harus diselesaikan secara tuntas oleh pihak berwajib.
Ketua Paguyuban Petani Banyumas, Slamet, menyatakan dukungan atas perjuangan yang disuarakan para petani Desa Darmakradenan dan Stan Ampera yang menuntut hak kepemilikan tanah dikembalikan yang selama ini masih dikuasai PT Rumpun Sari Antan.
“Sejak tahun 2000 dibentuk STAN Ampera hingga sekarang masih terus berjuang menuntut hak tanah yang masih dikelola perusahaan untuk dikembalikan ke masyarakat. Saya yakin kedepannya akan berhasil dengan cara duduk bersama dengan pemerintah. Dirembukg apa saja yang sulit bisa dibicarakan bersama-sama,”jelasnya.
Sumber : Radar Banyumas